Kembalikan Lidahku Cerpen Sugito Hadisastro NGATIMIN paling suka merenung. Apalagi satu tahun terakhir ini, sejak dia diberhentikan dari tempat kerjanya. Sebuah perusahaan penggergajian kayu gelap. Bergelondong-gelondong kayu besar, ditebang di hutan pada malam gelap oleh orang-orang berpakaian gelap. Mengalir ke tempat penggergajian gelap. Ngatimin bukan penebang, tapi pemotong. Meski tubuhnya kuat, ototnya lengkap, dia kurang berani bekerja dalam gelap. Dia jenis manusia yang suka terang-terangan. Tugasnya memotong kayu-kayu dengan gergaji tangan yang tidak bising. Hampir sepuluh tahun dia dan koleganya menghabiskan hari-harinya di tempat kerjanya yang sempit. Kayu-kayu berwarna-warni silih berdatangan. Dari jati, mahoni, bengkerai, punak, hingga jengkol, petani dan sengon. Semua tuntas di tangan Ngatimin. Menjadi lempengan-lempengan kecil yang tak dikenali asalnya. Lalu datanglah angin malapetaka itu. Dengan dalih efisiensi, perusahaan mendatangkan mesin potong kayu hebat dari luar negeri. Tidak seperti dirinya, mesin itu tidak pernah mengeluh atau menuntut kenaikan upah. Dia dan temannya berhenti sudah. Sederhana sekali. Memang ada pesangon. Tapi mana cukup untuk bertahan sepanjang sisa hidup bersama satu istri, tiga anak, dan seorang mertua sakit-sakitan. Ngatimin harus menggergaji apa? Gergaji kayu tuanya termakan karat. Anak istrinya harus makan. Dia juga. Berkumpul dengan tetangga perlu rokok. Dari mana duit untuk beli. Mau jualan es cendol atau mainan anak, modal dari mana. Mau bekerja serabutan, relasi tidak punya. Mau mencuri atau merampok, takut penjara. Ngatimin merasa kehabisan akal. Lalu dia merenung di gardu siskamling suatu malam. Seorang kakek tua pemecah batu menghampirinya. "Kulihat kamu kurang tidur, anak muda. Matamu sembab, pandanganmu sayu. Boleh aku tahu sebabnya?" Ngatimin berkata dalam hati. Peduli amat ini orang tua. "Saya korban PHK. Sudah setahun lebih saya tidak bekerja. Saya makan keringat istri saya. Saya mencuci kotoran mertua saya." "Kasihan. Tidak banyak orang yang mau berbuat kebaikan seperti Anda." Ngatimin terkejut setengah mati. "Anda bilang itu kebaikan?" "Ya, kebaikan yang sangat langka." "Omong kosong. Saya bosan begini terus. Saya benci diri saya sendiri. Saya ingin memotong kayu seperti dulu. Tolong, katakan pada saya di mana saya dapat memotong kayu. Persetan dengan kayu gelap atau kayu terang." Orang tua itu menggumam, "Jika Anda berani, potonglah lidah Anda agar tidak selalu berkeluh-kesah." Karena terlalu emosi dengan dirinya, Ngatimin sampai lupa bahwa orang tua pemecah batu itu telah pergi. Ngatimin kembali merenung. * * * SAAT merenung, dia hindari pasar, tempat bermain anak, atau tempat ramai lainnya. Dipilihnya pohon asam tua di pinggir jalan desa ke arah makam. Suasana di situ sungguh menyejukkan hati. Berbeda dari suasana rumahnya yang panas. Di rumahnya benar-benar panas. Istrinya sering mengata-ngatai yang membuat hatinya panas. Mertuanya yang tinggal menunggu ajal pun sering berkata-kata memanaskan hati. Belum anak-anak. Belum tetangga-tetangga yang usil. Belum yang lain. Ngatimin kadang-kadang ingin mati dengan cara tenang. Dia membayangkan dirinya tertidur di bawah pohon asam tua. Lalu datanglah angin kencang menerpa pohon asam. Pohon itu roboh dan menimpa dirinya. Lalu dia mati. Sangat sederhana, tanpa sakit. Namun ketika dia ingat gumam orang tua pemecah batu itu, dia lalu ingin memotong lidahnya agar tidak berkeluh-kesah. Ngatimin bergegas mendatangi orang tua pemecah batu itu di tempat dia bekerja. Sebuah cekungan sungai kering karena terlalu lama kemarau. Orang tua pemecah batu sedang mengumpulkan batu yang hendak dipecah. "Benar katamu, hai orang tua. Aku harus memotong lidahku agar tidak terus berkeluh-kesah," kata Ngatimin penuh semangat. "Lalu?" "Tolong pinjami saya pisau Anda yang paling tajam. Saya akan memotong lidah saya dengan sekali gerakan." "Kalau tidak putus?" tanya si orang tua. "Saya akan merasakan sakit." "Sakit yang luar biasa," sambung orang tua. Ngatimin membayangkan sakit yang amat sangat. "Tapi bukankah itu lebih baik bagiku daripada aku mempunyai lidah yang selalu berkeluh kesah?" Ngatimin minta pertimbangan. Orang tua pemecah batu terkekeh-kekeh. "Anda menertawakan saya?" tanya Ngatimin tidak mengerti. "Pertama, saya tidak punya pisau yang amat tajam. Kedua, saya belum pernah berjumpa dengan orang paling bodoh seperti Anda." "Saya orang paling bodoh? Di mana kebodohan saya?" "Di kepala Anda." "Di kepala saya? Lalu saya harus bagaimana?" "Potong kepala Anda. Kepala yang tidak berguna, buang." Ngatimin berpikir keras. "Kalau begitu, mana lebih dulu saya harus potong, lidah atau kepala?" Orang tua pemecah batu berhenti memecah batu. "Mintalah nasihat pada orang tua pencari ikan." "Di mana saya dapat menemukan orang itu?" "Itu dia orangnya." Ngatimin menoleh ke arah orang tua pencari ikan yang sedang duduk di pinggir sungai menikmati kretek kelaras jagung. Ngatimin berjalan ke sana. "Wahai orang tua pencari ikan, saya Ngatimin, datang kepada Anda untuk meminat nasihat. Saya punya kepala bodoh dan lidah suka berkeluh-kesah, menurut Anda mana yang pertama saya harus potong?" Orang tua pencari ikan menghentikan isapan rokok kreteknya. Dengan penuh rasa heran dia pandangi orang muda di hadapannya itu. "Nanti dulu. Saya ingin mendengar kenapa kepala Anda bodoh dan lidah Anda suka berkeluh-kesah?" "Ceritanya amat panjang. Singkatnya begini, saya korban PHK. Saya tidak punya pekerjaan lagi. Saya tidak dapat memberi makan anak istri saya. Saya punya mertua yang cerewet. Saya ingin mati dengan tenang." Orang tua pencari ikan berpikir sejenak. Katanya, "Saya selalu memberi nasihat orang sehabis merokok. Silakan merokok dulu. Ini bukan rokok betulan, tapi lumayan daripada mulut asam. Sudah berapa hari Anda tidak merokok?" "Lebih dari satu bulan." "Apa yang Anda kerjakan saat tidak bekerja dan tidak merokok?" "Saya merenung memikirkan nasib saya yang buruk." "Anda ternyata tidak sebodoh yang dikatakan orang pemecah batu itu." "Kalau begitu saya tidak usah memotong kepala saya?" "Benar sekali." "Lalu lidah saya, apakah tetap harus saya potong?" "Tidak juga." "Tapi nanti saya suka berkeluh-kesah," Ngatimin protes. "Itu terserah Anda." "Kalau begitu saya akan tetap memotong lidah saya. Tolong pinjami saya pisau Anda yang paling tajam. Saya akan memotongnya sekali sabetan." "Saya tidak punya pisau yang sangat tajam. Coba Anda temui orang tua pembunuh buaya. Dia mempunyai pisau yang Anda butuhkan. Jika Anda tidak tahu tempatnya, susuri terus tepi sungai ini sekitar dua jam. Semoga Anda berhasil." Ngatimin heran. Orang tua pemecah batu ata pencari ikan itu biasa. Tapi orang tua pembunuh buaya? Terdorong rasa ingin tahu, dia datangi orang tua itu. Waktu dua jam tidak terlalu lama. Ketika akhirnya bertemu dengan orang itu, Ngatimin semakin heran. Pembunuh buaya ini seorang wanita bongkok. Bagaimana mungkin dia melawan buaya, apalagi membunuhnya. Wanita tua itu sedang membersihkan giginya yang cokelat tua dengan campuran buah pinang, daun sirih dan tembakau susur. "Hai, orang tua hebat, benarkah Anda seorang pembunuh buaya?" "Benar. Dari mana Anda tahu saya ada di sini? Apakah ada buaya di dekat rumah Anda dan Anda memerlukan keahlian saya untuk membunuhnya? Saya baru saja membunuh tiga ekor buaya sekaligus. Itu lihat bercak darahnya di baju saya yang saya gantungkan di ranting pohon." Ngatimin mengamati bercak darah yang masih segar di baju wanita itu. "Oh, saya tahu Anda berada di sini dari orang tua pencari ikan. Saya hanya ingin meminjam pisau Anda yang sangat tajam." "Untuk apa?" "Untuk memotong lidah saya." "Kenapa Anda ingin memotong lidah sendiri?" "Lidah saya suka berkeluh-kesah." "Maaf, saya tidak meminjamkan pisau kepada orang lain. Tapi kalau Anda meminta saya untuk memotongkan lidah Anda, saya akan melakukannya dengan senang hati." "Apakah Anda pernah memotong lidah orang sebelum saya?" "Belum. Kalau Anda mau, lidah Andalah yang kali pertama akan saya potong. Bagaimana? Sekarang atau nanti?" "Pernahkah Anda memotong lidah buaya?" "Jangankan lidahnya, yang lainnya pun biasa saya potong." "Bagaimana nanti Anda memotong lidah saya?" "Terserah Anda. Mau sekali potong atau dua kali atau dikerat-kerat dulu. Saya siap." "Sekali saja." "Boleh. Sekarang?" "Bagaimana kalau lusa? Hari ini saya akan pulang pamitan keluarga saya dulu, supaya mereka tidak kaget bahwa setelah itu saya tidak punya lidah lagi." "Silakan." "Oh, ya. Berapa ongkos potong lidah?" "Jangan tanya ongkos. Saya lihat dari wajah Anda, Anda tidak punya uang sama sekali. Bahkan dari pagi tadi Anda belum makan apa-apa. Betul, kan?" Ngatimin diam. Kepalanya mengangguk. "Nah, sekarang pulanglah. Saya tunggu lusa. Saya akan asah pisau saya biar lebih tajam." Ngatimin lalu pulang. Di rumahnya yang panas, dia tidak menemukan siapa-siapa. Seorang tetangga yang melihatnya pulang, menghampirinya. "Dari mana saja kamu, Ngat?" "Mencari pekerjaan. Ke mana anak istri dan mertuaku?" "Orang edan, kamu. Mertuamu mati kemarin. Kamu dicari ke mana-mana tapi tidak ketemu. Anak istrimu semua mencarimu." Ngatimin terduduk lemas di bibir ambin. Perutnya lapar, haus. Mulutnya kering. Sepotong ubi rebus di meja, entah milik siapa lumayan untuk pengisi perut. Lalu matanya mengantuk. Lalu, entah kapan harinya dia pergi menemui orang tua pembunuh buaya. Wanita itu sudah siap dengan pisaunya yang sangat tajam. Ngatimin diminta memperlihatkan lidahnya. Wanita itu menarik ujung lidah Ngatimin. Melihat mata pisau yang berkilauan, muncul rasa takutnya. Dia ingin pulang saja, membatalkan niatnya memotong lidah. Wanita itu sangat marah. Ditariknya lidah Ngatimin sekuat tenaga dan dengan sekali ayun, Ngatimin melihat darah segar mengucur dari mulutnya. "Jangan, jangan. Saya ingin tetap punya lidah," teriaknya memekakkan telinga. Darah tetap mengucur. Wanita tua pembunuh buaya menyeringai sinis. "Mana lidahku? Mana lidahku? Saya ingin tetap punya lidah," Ngatimin bangkit dari ambin tempatnya tidur dan berlari-larian tanpa tujuan. Istri dan anak-anaknya yang sudah kembali, kebingungan. "Siapa yang mencuri lidahmu?" tanya istrinya sengit. "Orang tua pembunuh buaya itu telah memotong lidahku. Tolong kembalikan lidahku," jawabnya antara sadar dan tidak. Istri, anak-anaknya dan tetangganya saling berpandangan. Mereka tidak tahu kenapa Ngatimin berteriak-teriak seperti itu. Ngatimin terus berlari dan berlari ke pohon asam tempat dia biasa merenung. Kali ini bukan untuk merenung. (72) Batang, Mei 2003